MAKALAH
PERADABAN
ISLAM MASA KERAJAAN SAFAWI DI PERSIA
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :
SEJARAH PERADABAN ISLAM
Dosen Pengampu
: Sofa Muthohar, M.Ag
Disusun Oleh:
Moh. Choerun Febriansah (1603016204)
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dinasti Safawiyah lahir di Persia pada awal abad ke-16 M.
Kelahirannya merupakan peristiwa penting, bukan hanya bagi Persia dan negara
tetangganya, tetapi juga bagi Eropa pada umumnya. Bagi Persia, berdirinya
dinasti Safawiyah di anggap sebagai bangkitnya Imperium Persia dan
nasionalismenya yang telah di jatuhkan oleh Islam pada masa pemerintahan Umar bin
Khattab dalam peperangan di Qadisia pada tahun 635 M dan Nahawand pada tahun
642 M.
Bagi kerajaan Turki Usmani, kehadirannya sering kali di anggap
sebagai suatu ancaman. Hal ini terbukti dengan terjadinya kontak senjata antara
keduanya. Akan tetapi, bagi dinasti Mughal di India, dinasti Safawiyah dianggap
sebagai sahabat akrab yang memberinya
bantuan dalam menghadapi musuh. Sedangkan bagi Eropa, dinasti Safawiyah di
anggap sebagai mitra dagang yang menguntungkan kedua pihak.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah berdirinya
dinasti Safawiyah?
2.
Bagaimana kemajuan yang dicapai
oleh dinasti Safawiyah?
3.
Bagaimana kemunduran dinasti
Safawiyah?
C.
Tujuan masalah
1.
Untuk mengetahui sejarah berdirinya
dinasti Safawiyah
2.
Untuk mengetahui kemajuan yang
dicapai oleh dinasti Safawiyah
3.
Untuk mengetahui kemunduran dinasti
Safawiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Berdirinya Dinasti Safawiyah
Dinasti
Safawiyah termasuk salah satu dinasti terpenting dalam sejarah Iran. Dinasti
ini tergolong salah satu negeri Persia terbesar semenjak penaklukan muslim di
Persia. Negeri itu juga menjadikan syi’ah sebagai aliran agama resmi, sehingga
menjadi salah satu titik penting dalam sejarah muslim.
Dinasti
Safawiyah berkuasa pada tahun 1501-1722 M (mengalami restorasi singkat pada
tahun 1729-1736 M). Pada puncak kejayaannya, wilayah Safawiyah meliputi Iran,
Azerbaijan, Armenia, sebagian besar Irak, Georgia, Afganistan, Kaukasus, dan
sebagian Pakistan, serta Turkmenistan dan Turki.[1]
Kerajaan
safawi berasal dari sebuah gerakan Tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota
di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah, yang diambil dari
nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-din (1252-1334 M), dan nama Safawi itu terus
dipertahankan sampai Tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus
dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni kerajaan
Safawi.[2]
Shafi Ad-Din
berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan
hidupnya. Ia adalah keturunan dari Imam Syi’ah yang ke-6 bernama Musa
al-Kazhim. Gurunya bernama Syech Taj al-Din Ibrahim zahidi (1216-1301 M), yang
dikenal dengan sebutan Zahid Al-Gilani.
Berkat
prestasi dan ketekunannya dalam bidang tasawuf, Shafi Ad-Din dijadikan sebagai
menantu oleh gurunya. Shafi Ad-Din mendirikan tarekat safawiyah setelah
menggantikan gurunya sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. Pengikut
tarekat ini sangat tekun memegang ajaran agama. Pada awalnya, gerakan tarekat
ini bertujuan memerangi orang-orang ingkar, termasuk para ahli Bid’ah.
Tarekat yang
di pimpin oleh Shafi Ad-Din ini semakin menguat posisinya, terutama setelah ia
mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal
menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria, dan Anatolia
Di
negeri-negeri di luar Ardabil, Shafi Ad-Din menempatkan seorang wakil yang
memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar ”khalifah”. Suatu ajaran agama
yang dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan
dikalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa. Oleh karena itu, lama-kelamaan
murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik
dalam kepercayaan, sekaligus menentang setiap orang bermadzhab selain syi’ah.
Kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkretnya pada masa
kepemimpinan Junaid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas gerakannya dengan
menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini
menimbulkan konflik antara Junaid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam),
salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik
tersebut Junaid kalah dan diasingkan kesuatu tempat. Ditempat baru ini ia
mendapat perlindungan dari penguasa Diyar bakr, AK. Koyunlu (domba putih), juga
suatu suku bangsa Turki.
Selama dalam
pengasingannya, Junaidi tidak tinggal diam, ia justru dapat menghimpun kekuatan
untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil
mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan.
Anak Junaidi
yaitu Haidar, ketika itu masih kecil dalam asuhan Uzun Hasan. Oleh karena itu, kepemimpinan
gerakan Safawi baru dapat diserahkan kepadaNya secara resmi pada tahun 1470 M.
Hubungan haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah
seorang putri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang dikemudian
hari menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia.
Kemenangan AK
Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Koyunlu membuat gerakan militer safawi yang
dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh AK Koyunlu dalam
meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal Safawi adalah sekutu AK Koyunlu. AK
koyunlu berusaha melenyapkan kekuasaan dinasti safawi. Pasukan haidar mengalami
kekalahan dala suatu peperangan di wilayah Sircassia, dan Haidar sendiri
terbunuh.
Kepemimpinan
gerakan safawi selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat itu masih berusia
& tahun. Selama 5 tahun Ismail bersama pasukannya bermarkas di Gilan,
mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan pera pengikutnya di
Azerbaijan, Syiria, dan Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan tersebut dinamakan
Qizilbash (baret merah).
Di bawah
kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasuka Hizilbash menyerang dan
mengalahkan AK Koyunlu di Sharus, dekat Nakhchivan. Pasukan ini brusaha
memasuki dan menaklukan Tabriz, ibu kota AK Koyunlu, dan berhasil merebut dan
mendudukinya. Di kota ini Ismail memproklamkirkan dirinya sebagai raja pertama
Dinasti Safawi.[3]
Masa kekusaan
Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Secara plitik ia mampu
mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang menggangu stabilitas negara dan
berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah di rebut oleh kerajaan
lain pada masa raja-raja sebelumnya.
Usaha usaha
yang dilakukan Abbas I diantaranya, Pertama, menghilangkan dominasi
pasukan Kizilbaz atyas kerajaan Safawi dengan cara membentuk pasukan baru yang
aggotanya terdiri dari budak-budak, berasal dari tawanan perang bangsa Georgea,
Armenia, Sircassia, yang telah ada sejak raja Tahmasp I. Kedua, mengadakan
perjanjian damai dengan turki usmani. Untuk mewujudkan perjanjian ini Abbas I
terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan sebagian wilayah
Luristan. Disamping itu Abbas berjanji tidak akan menghina 3 khalifah pertama
dalam Islam (Abu Bakar, Umar Bin Khattab, dan Ustman) dalam khutbah-khutbah
jum’at. Sebagai jaminan atas syarat-syarat itu dia menyerahkan saudara
sepupunya, Haidar Mirza sebagai sandera di Istanbul.
Usaha-usaha
yang di lakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Safawi kuat kembali.
Setelah itu, Abbas I mulai memusatkan perhatiannya keluar dengan berusaha
merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang. Pada tahun 1598 M, ia
menyerang dan menaklukkan Herat. Dari sana ia melanjutkan serangan merebut Marw
dan Balkh. Setelah kekuatan terbina dengan baik, ia juga berusaha mendapatkan
kembali wilayah kekuasaannya di Turki Usmani. Masa permusuhan antara dua
kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam sama sekali.
Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah kekuasaannya kerajaan
usmani itu. Pada tahun 1602 M, di ssat Turki Usmani berada di bawah Sultan
Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan,
dan Baghdad. Sedangkan kota-kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, dan Tiflis dapat di
kuasai tahun 1605-1606 M. Selanjutnya, pada tahun 1622 M pasukan Abbas I
berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi
pelabuhan bandar Abbas. [4]
Adapaun
silsilah para pemimpin di Dinasti Safawiyah adalah sebagai berikut:
1.
Safi ad-Din (1252-1334 M)
2.
Sadar ad Din Musa (1334-1399 M)
3.
Khawajah Ali (1339-1427 M)
4.
Ibrahim (1427-1447 M)
5.
Juneid (1447-1460 M)
6.
Haidar (1460-1494 M)
7.
Ali (1494-1501 M)
8.
Ismail (1501-1524 M)
9.
Tahmasp I (1524-1576 M)
10.
Ismail II (1576-1577 M)
11.
Muhammad Khudabanda (1577-1588M)
12.
Abbas I (1588-1628 M)
13.
Safi Mirza (1628-1642 M)
14.
Abbas II (1642-1667 M)
15.
Sulaiman (1667-1694 M)
16.
Husein (1694-1722 M)
17.
Tahmasp II (1722-1732 M)
18.
Abbas III (1732-1736 M)[5]
B.
Kemajuan yang
dicapai oleh Dinasti Safawiyah
Ragam kemajuan
yang telah diraih pada masa Dinasti Safawiyah adalah sebagai berikut:
1.
Bidang Politik dan Sosial
Keadaan politik pada masa Dinasti Safawiyah
mulai bangkit kembali setelah Abbas I naik tahta pada tahun 1587-1629. Ia
menata administrasi negara dengan cara yang lebih baik. Langkah-langkah yang
ditempuh olehnya guna memulihkan politik Dinasti Safawiyah ialah sebagai
berikut:
a.
Mengadakan pembenahan administrasi
dengan cara pengaturan dan pengontrolan dari pusat
b.
Pemindahan ibu kota ke Isfahan
c.
Berusaha menghilangkan dominasi
pasukan Qiziblash atas kerajaan safawiyah dengan cara membentuk pasukan baru
yang anggotanya terdiri atas bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia yang telah
ada sejak raja Tahmasp I
d.
Mengadakan perjanjian damai dengan
Kerajaan Turki Usmani
e.
Berjanji tidak akan menghina tiga
khalifah dalam khutbah jum’at[6]
Reformasi politik yang telah dilakukan oleh Abbas I bisa membuat Kerajaan Safawi kuat
kembali. Setelah itu, ia mulai memusatkan perhatiannya guna merebut kembali
wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang.
Perlu diketahui bahwa kerajaan safawi dan turki ustmani sebelum
abad ke-17 saling bermusuhan, dan safawiyah mengelami banyak kekalahan. Tetapi
setelah Abbas I naik tahta, safawiyah
berhasil merebut wilayah kekuasaan kerajaan turki ustmani, sehingga
menuai kemenangan.
2.
Bidang Agama
Pada masa
Abbas I, kebijakan keagamaan tidak lagi seperti masa khalifah-khalifah
sebelumnya, yang senantiasa memaksakan agar Syi’ah menjadi agama negara,
melainkan ia menanamkan sikap toleransi.
Menurut Hamka,
terhadap politik keagamaan, Abbas I menerapkan paham toleransi atau lapang dada
yang amat besar. Paham Syi’ah tidak lagi menjadi paksaan. Bahkan, orang sunni
dapat bebas mengerjakan ibadahnya. Bukan hanya itu, para pendeta nasrani juga
dipersilahkan mengembangkan ajaran agama secara leluasa. Sebab, telah banyak
bangsa Armenia yang menjadi penduduk setia di kota Isfahan.
3.
Bidang Ekonomi
Stabilitas
politik kerajaan safawiyah pada masa Abbas I telah memacu perkembangan
perekonomiannya, terutama setelah pulau Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun
diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini, maka salah satu
jalur dagang laut antara negara timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh
Belanda, Inggris, dan Perancis, akhirnya menjadi milik kerajaan safawi.
Selain sektor
perdagangan, kerajaan safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian,
khususnya di daerah bulan sabit subur ( fertile crescent). Tetapi, setelah
Abbas I meninggal dunia, perekonomian safawi mengalami kemunduran secara
perlahan. Dan, puncak kemundurannya terjadi padamasa kekuasaan Syafi Mirza.
Pada masa ini, rakyat cenderung cuek, karena mereka mengalami penindasan dari
Syafi Mirza. Meskipun begitu, banyak saudagar bangsa asing berdiam di Iran
sekaligus mengendalikan ekonomi.
4.
Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah
islam, Persia dikenal sebagai bangsa berperadaban tinggi dan berjasa dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika pada
masa kerajaan safawiyah, terutama pada masa Abbas I, tradisi keilmuan terus
berkembang.
Berkembangnya
ilmu pengetahuan pada masa kerajaan safawiyah terkait doktrin mendasar bahwa
kaum syi’ah tidak boleh taklid dan pintu ijtihad selamanya terbuka. Mereka
berbeda dengan kaum sunni yang meyakini bahwa ijtihad telah berhenti dan orang-orang
harus taklid. Sedangkan kaum syi’ah tetap berpendirian bahwa mujtahid tidak
terputus selamnya.
5.
Bidang Seni
Di bidang
seni, kemajuan terlihat dari gaya arsitektur bangunan, seperti masjid Syah yang
dibangun pada tahun 1603 M. Adapun unsur seni lainnya dalam bentuk kerajinan
tangan, karpet, permadani, pakaian, tenunan, mode, tembikar, dan lain-lain.
Pada
hakikatnya, seni lukis mulai dirintis pada masa Tahmasp I. Sedangkan, pada
tahun 1522 M. Ismail I menghadirkan seorang pelukis bernama Bizhard ke Tabriz.
Pada masa Abbas I, kebudayaan, kemajuan, dan keagungan pikiran mengenai seni
lukis, pahat, syair, dan lain sebagainya semakin berkembang. Adapun salah satu
pujangga yang terkenal pada masa ini adalah muhammad bagir bin muhammad damad
(ahli pasti dan ilmu filsafat).
C.
Kemunduran
Dinasti Safawiyah
Terjadinya
kemunduran pemerintahan pusat berlangsung sepeninggal Abbas I. Setelah Abbas I
meninggal dunia, tidak ada seorangpun yang mempunyai visi atau kecakapan
sepertinya, apalagi seusai perjanjian dengan kerajaan Turki Ustmanipada tahun
1639. Saat itu, pasukan militer safawiyah terbengkalai dan terpecah menhjadi
sejumlah resimen kecil.
Selain itu,
administrasi pusat juga mengalami perpecahan. Bahkan, beberapa prosedur
penertiban pajak dan distibusi pendapatan negara menjadi tidak terkendalikan.
Melemehnya
pemerintahan pusat menyebabkan terjadinya berbagai pemberontakan otoritas
safawiyah. Pada abad ke 18, iran dilanda kondisi anarkis. Adapun diantara pihak
yang memperebutkan kekuasaan politik yang paling besar ialah rezim Afgan,
afshar, zand, dan qatar. Lantas pada tahun 1724, Ghalzai Afgan mengambil alih kekuasaan
atas isfahan. Kemudian iran diserangoleh kerajaan turki dan rusia yang
berbatasan dengannya.
Adapun
penyebab kemunduran dan kehancuran dinasti safawiyah diantaranya adalah sebagai
berikut:
1.
Adanya konflik yang berkepanjangan
dengan kerajaan turki ustmani. Berdirinya kerajaan safawiyah bermadzhab syi’ah
menjadi ancaman bagi kerajaan turki ustmani
2.
Terjadinya degradasi moral yang
melanda sebagian pemimpin kerajaan safawiyah. Ini turut mempervepat proses
kehancuran kerajaan itu
3.
Pasukan Ghulam (budak-budak) yang
dibentuk oleh Abbas I tiidak mempunyai semangat perjuangan yang tinggi
4.
Sering kali terjadi konflik intern
dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalanga istana
5.
Lemahnya para sultan. ini sebagai
akibat dari tidak adanya sistem pengkaderan yang terencana bagi calon penerus
kekuasaaan, lantaran dikhawatirkan menjadi bumerang bagi raja yang
mengkadernya, sekaligus mengambil alih kepemimpinan sebelum waktunya. Adapun
penyebab lainya dari kelemahan mereka adalh disibukkan oleh urusan kemewahan
dan mabuk-mabukkan
6.
Lemahnya ekonomi. Penyebab lainnya
ialah ketamakan sultan dalam mendapatkan meriam eropa, sehingga mereka
membebaskan niagawa eropadari bea masuk dan keluar bagi komoditas eropa serta
safawiyah. Akibatnya pemasukkan negara berkurang. Selain itu, penggunaan uang
negara demi mendukung kehidupan mewah keluarga raja juga mengurangi kas negara
dalam jumlah banyak, sehingga gaji tentara juga tidak terbayarkan.
Kehancuran
safawiyah juga disebabkan oleh sebuah perubahan yang luar biasa dalam hal
hubungan negara dengan agama. Semula, safawiyah merupakan sebuah gerakan.
Namun, setelah berkuasa, afawiyah justru menekan bentuk millenarian islam sufi
sembari cenderung kepada pembentukan lembaga ulama negara. Safawiyah menjadikan
syiisme sebagai agama resmi iran, sekaligus mengeliminir pengikut sufi mereka,
sebagai mana yang dilakukan terhadap ulama sunni.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kerajaan safawi berasal dari sebuah gerakan Tarekat yang berdiri di
Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah,
yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-din (1252-1334 M), dan nama
Safawi itu terus dipertahankan sampai Tarekat ini menjadi gerakan politik.
Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan
kerajaan, yakni kerajaan Safawi.[8]
Masa puncak kerajaan safawiyah adalah pada saat kepemimpinan Abbas
I, pda masa itu kerajaan ini mengalami banyak kemajuan diantaranya kemajuan
dalam bidang politik dan sosial, bidang agama, ekonomi, ilmu pengetahuan dan
yang terakhir adalah bidang kesenian. Tapi pada masa setelah kepemimpinan Abbas
I justru mengalami banyak kemunduran yang akhirnya mengakibatkan hancurnya
dinasti Safawiyah, hal itu disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, konflik
berkepanjangan dengan kerajaan Turki Ustmani, terjadinya degradasi moral pada sebagian
petinggi negara,pasukan budak yang di bentuk Abbas I tidak mempunyai semangat
yang tinggi, perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana, lemahnya para
sultan dan ekonomi.
B.
SARAN
Demikian makalah yang telah kami susun, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Apabila dalam
makalah ini terdapat banyak kesalahan kami mohon untuk meminta kritik dari
pembaca untuk dapat diperbaiki di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Badriyatim.
2000. SEJARAH PERADABAN ISLAM, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Amin Samsul
Munir, 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Azid Rizem, 2015.
Sejarah peradaban islam terlengkap, Yogyakarta: Diva Pres.
[1]
Id.wikipedia.org
[2]
Dr.Badriyatim,M.A, SEJARAH PERADABAN ISLAM, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000 hal 138
[3]
Drs.Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:Amzah,2014) hlm189
[4]
Ibid, hlm 503-504, lihat pula Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm143
[5]
Rumahbacakita.blogspot.com
[6]
Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Pustaka,2007)
hlm142
[7]
Rizem Azid, Sejarah peradaban islam terlengkap,(Yogyakarta,Diva Pres:2015)
[8]
Dr.Badriyatim,M.A, SEJARAH PERADABAN ISLAM, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000 hal 138